<$BlogRSDURL$>

Thursday, December 11, 2003

From: MH
To: WH
Subject: masih seputar antologi
Date: Thu, 11 Dec 2003 15:04:38 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

dear WH:

Jawaban email Saudara membuat saya agaknya menghentikan sebentar suapan makan siang di depan komputer ini. Agaknya memang topik ini asing buat saya. Asing dalam peengertian bukan saya tidak pernah memikirkan akan mas'alah tema seperti Saudara sebut dalam email, tetapi karena agaknya memang banyak sebaran dalam puisi-puisi saya. Deviasinya bisa bias kemana-mana, banyak sekali bersentuhan dengan tema-tema yang acap kali terpengaruh situasi (tidak aneh juga, karena puisi adalah potret situasi, toh?). Seperti ketika semalam saya nongkrong di Gramedia Bogor, sekilas saya membaca puisi dari penyair Yaswin Ibhen Sina (mungkin saudara baru dengar, saya juga baru dengar tapi akhirnya ingat bahwa Yaswin adalah kumpulan anggota Bodrex Fak. Sastra bersama Syukri and the gank), dia ini adalah mantan mahasiswa di tahun pro-reformasi 98 yang acap kuliah di jalanan menuntut darah mahasiwa yang tumpah dimana-mana. Puisinya banyak menyiratkan kejadian seputar mahasiswa, yang bahsanya benar-benar heroik sekaligus satire. Bernas, padat dan indah sekali. Nyaris tanpa kias berbunga-bunga. Saat itu saya berfikiran untuk membuat seperti itu!

Kembali lagi kemasalah tema, saya sungguh setuju dengan argumen Saudara bahwa jika suatu antologi akan diterbitkan haruslah ia mempunyai tema yang kemudian dijaga keutuhannya agar tetap setia pada tema yang diusung. Memang tidak salah. Karena begitu, harus dibuat semacam seleksi yang memungkinkan ia tetap berada dijalur tema. Tapi saya ragu pada diri sendiri, mengingat secara sadar, saya mungkin tidak sungguh-sungguh menggarap tema lain diluar ; roamtisme, kenangan, hujan dan semacamnya yang padahal sudah saya coba.

Haruskah kemudian tema menjadi syarat utama?

Yah, seperti dimuat saudara, ndak usah muluk-muluk..! He..he, saya pun paling tidak masih bersyukur, karena masih bisa selamat dari tikaman
rutinitas dan tidak mati kreatifitas. 'Kesombongan' saudara untuk mengutak-atik tantang tema, antologi dan lain-lainnya sebenarnya saya
tangkap dengan tidak berkerut kening. Saya cuma merasa dikritik saudara, dan kembali diingatkan lagi tentang kumpulan puisi kita yang ndak pernah selesai dan jadi-jadi! ]

jadi mari kita nikmati desir angin kreatifitas. Entah itu nanti berwujud romantisme, hujan, pemberontakan atau darah dimana-mana, tak akan jadi soal. Yang penting tetep nulis, dan yang harus dicatet, kapan kumpulan puisi kita selesai..!


Kepepet
yaswin iben shina

ketika kepepet tentara
pagar dua meter di lompat mahasiswa

apalagi ketika kepepet uang
jangankan pagar!


MH, syawal 2003

Wednesday, December 10, 2003

From: WH
To: MH
Subject: Apa Makna Antologi?
Date: Thu, 11 Dec 2003 13:08:03 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

to MH:

Apa Makna Antologi?

Kadang saya bertanya juga, apa makana sebuah antologi. Rasanya kurang tepat juga jika menyebut antologi seperti sebuah album lagu yang dilemparkan oleh para pemusik demi meraih keuntungan materi semata-mata. Namun, apakah kemudian antologi menjadi sekedar kumpulan, hasil mengais-ngais laci dan halaman-halaman buku untuk ditampilkan dalam satu bundel kertas yang disusun seperti buku?

Dalam pemikiran saya, dan kupikir jika kau tidak setuju silahkan saja menyahut, antologi bisa dijadikan seperti album lagu. MAsalahnya bagini, sebuah album lagu pemusik pop selalu (atau biasanya?) disusun dengan satu tema tertentu dalam pikiran pembuatnya (entah itu produser ataupun artisnya sendiri). Sehingga materi dalam album tersebut pasti melalui satu proses seleksi dan penulisan ulang yang tidak pendek.

Saya pernah baca tulisan Mr Han (pemusik dari grup Linkin Park) dalam penyusunan lagu-lagu di album baru mereka (Meteora, Linkin Park, 2003). Dalam tulisan tersebut Han mengutarakan bahwa beberapa materi lagu sengaja diubah dan disusun ulang sedemekian hingga (ingat Dahrul Syah?) agar memiliki napas yang sama. Ini artinya keseluruhan album itu dijaga keutuhannya, setidaknya dari segi suasana lagu.

Jadi album bukan sekedar tempelan-tempelan lagu yang dipungut sembarangan. Saya pikir ini sebuah pemikiran yang bagus.

Kembali ke antologi puisi. Haruskah demikian?

Misalnya, saya pernah mengumpulkan beberapa puisi saya dalam 'antologi-antologi'-an maka saya juga menggunakan prinsip yang sama. Teringat antologi (atau kumpulan?) puisi saya yang berjudul 'Hujan, Rindu, Damai' atau 'Daun' atau yang terkini 'Sihir Jahat 2002' dan 'Daun-daun yang Jatuh Sepanjang Jalan' (yang terakhir ini, kau juga yang menuliskan pengantarnya bukan?).

Saya kira, secara sengaja saya mengumpulkan materi dalam puisi tersebut dalam satu 'napas' yang sama. Coba kau tengok 'Sihir Jahat'-ku itu: bukankah (kuharap demikian) ada nafas atau ritme yang sama dalam setiap puisinya, semacam nada pemberontakan (dari pola romantisme) yang sama yang terjaga dari lembar demi lembar (yeah, hampir setiap lembarnya). Atau kau boleh tengok (masih kau pegang kan?) salinan puisi 'Daun yang jatuh..' bukankah ada semacam kembali ke romantisme dalam setiap lembarnya, tentunya dengan sedikit perubahan sepanjang perjalanan (lalu apakah kau harap kita tidak mengalami perubahan? tentunya manusia berubah, begitu juga puisi yang dihasilkannya).

Lalu, sebenarnya apa yang hendak kukatakan dengan 'menyombongkan diri' menghujanimu dengan teori-teori penyusunan antologi itu?

Maaf kalau saya hanya mengambil contoh antologi yang kususun, edar dan bagikan secara pribadi saja. Itu yang paling berani saya kritik, karena itu murni 'anak-anak' saya sendiri.

Sebenarnya yang hendak kukatakan adalah, seperti juga yang telah bertahun ini kita dambakan: Mari kita susun satu antologi lagi. Entah untuk periode mana, mungkin untuk semua periode: dari sejak lepas 'Bejana Tadah Hujan' hingga kini!

Jika ya, jika lagi-lagi aku berhasil memprovokasimu, apa napas yang hendak kita usung disana? romantisme macam apa yang mau kita jadikan 'tema' (kalau boleh menyebutnya demikian) antologi ini?

Kupikir, yeah ndak usah muluk-muluk mengusung tema. Kupikir: sudahlah, susun saja, kumpulkan semuanya lalu susun. Kais-kais lagi isi laci, lembar kertas dan halaman belakang buku mu (dan aku juga begitu) lalu kita susun Antologi yang telah lama dirindukan.

Baiklah aku akan mulai dengan mendata puisi-puisimu yang sempat sampai dihadapanku. Lalu, kuharap kau bersedia kirimkan lebih banyak lagi.

Bagaimana? apakah tulisan ini cukup memprovokasikan? atau sebaliknya, justru membingungkan?

-salam!-

WH

From: MH
To: WH
Subject: Sapardi lagi..
Date: Thu, 11 Dec 2003 12:33:02 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

Dalam salah satu (mungkin lebih) puisinya di kumpulan 'telpon genggam', Joko Pinurbo mengutip dan menceritakan ulang salah satu puisi sapardi. Dalam pengantarnya untuk 'Hujan Bulan Juni', Goenawan Mohammad menulis kurang lebih begini: "...Selepas membaca puisi-puisi Sapardi, kita lantas bertanya, kenapa bukan saya..", sengaja diumbar pertanyaan yang bombas itu untuk lebih menekankan bahwa puisi Sapardi memang layak untuk di cemburui.

Coba tolong diingat-ingat lagi, waktu itu disuatu kelas di tahun 1996, seorang guru bahasa membacakan sebuah sajak Sapardi dalam kumpulan 'Mata Pisau' dengan tenang . Tidak semua pendengar dikelas itu tentu penggemar puisi, apalagi terprovokasi untuk kenal siapa si Sapardi ini. Tapi ingat, 'Mata Pisau' itu kita pinjam dan dicatat di buku coretan Hijau kita, karena kita tersihir magis bahasa puisi Sapardi. Berusaha berkenalan dengan 'penyihir' satu ini. Mengaduk-ngaduk perpustakaan, mencari-cari siapa Sapardi, bahkan sempat juga kita mencuri 2 kumpulan penyair lain yang waktu itu asing: Ediruslan Pe Amanriza,kini alamarhum dan Ajib Rosidi, kumpulan
Ular dan Kabut. Lalu kita cemburu?Tidak. Karena cemburu hanya milik orang yang merasa mampu melakukan dan keburu dilaksanakan orang lain. Kita bukan cemburu, kerana toh, kita tak akan sanggup (rasanya) seperti Sapardi, hanya (mungkin) sekedar ingin mengikut-ikut genre dan gaya Sapardi yang magisnya luar biasa menyirep pikiran. Membuka cakrawala baru tentang romansa dan cinta penuh romantika khas manusia yang baru mulai belajar menjadi dewasa (karena dewasa sebuah pilihan, toh?)

Ketika dengan niat yang meluap-luap dan intensitas yang luar biasa (saya selalu merasa pencapaian kita di tahun 1996-1997 memang penuh energi dan muntahan kata tanpa lelah untuk terus menulis dan mencoba, dan kerananya menjadi luarbiasa), kita membuat satu 'kumpulan' puisi : Bejana Tadah Hujan. Coba perhatikan, pilihan katapun tak jauh dari hujan. Hujan menjadi simbol baru yang sedap nian didengar, ditulis dan dibaca. Artikulasinya benar-benar menjadi romantik!

Bahkan jika harus diparalelkan, kita seperti tak pernah jauh dari hujan. Hebatnya tanpa perencanaan, menetap sepanjang studi perguruan tinggi di: Kota Hujan!

Semuanya tampak menjadi padu pada Sapardi di hulu permulaanya. Puisi Sapardi yang selalu baru dan dirindu untuk dibaca. Dan Hujan selalu dirindu untuk dinikmati. Kalau Saudara sekarang menggunakan alamat surat elektrik dalam sihirhujan@yahoo.com bukankah itu juga meminjam embel-embel Sapardi.

Agaknya persamaannya selalu tautologi (selalu benar) tak pernah menjadi kontradiksi.


Tiada yang lebih baik
dari hujan bulan juni
dirahasiakan rindunya
pada pohon berbunga itu.


MH,
16 syawal 1424 Hijriah
  • AsalUsulTemplate
  • This page is powered by Blogger. Isn't yours?