<$BlogRSDURL$>

Thursday, January 29, 2004

From: WH
To: MH
Subject: Sihir Hujan
Date: Wed, 21 Jan 2004 12:06:42 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

Dear MH:

Sebatang filtra untuk memulai hari! Ha ha ha ha!

Hari ini bilangan Pondok Indah hujan lebat. Kata yang percaya, ini ada hubungannya dengan Tahun Monyet yang jatuh besok!

Hei, tadi pagi diktator dunia saat ini berpidato di depan kongres yang mendukungnya. Tuan Bush itu disambut hangat oleh para neo-fasis yang menyalami dan menepuki punggungnya. (Kukira jika tidak disoroti kamera mereka akan menciumi pantat Bush dan menjilati jejak kaki pemimpin dunia itu!). Kau tahu, aku ingat betul dokumentasi tentang Adolf Hitler atau Benito Mussolini, pemimpin fasis di masa lampau. Mereka selalu disambut penuh antusiasme dalam penampilannya di publik.

Kalau kau sempat menyimaknya, kau mungkin akan berpendapat sama, pidato Bush itu sungguh menegaskan bahwa dia tidak akan berhenti menyerang negara-negara lain yang mengganggunya!

Ah. Dunia! Orang-orang begitu ngototnya mempertahankan apa yang tidak nyata!

Salam,

WH

-Cell Phone: Most Hated, Needed Innovation -
From: MH
To: WH
Subject: The Pilgrim
Date: Wed, 21 Jan 2004 12:33:57 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

Karib ku WH,

Ziarah atau the Pilgrim (terjemahan : Harry Aveling, Heninemann Educational Book, (Asia) Ltd, Hongkong, 1975) merupakan novel yang secara serius mengubah pandangan ku (kita juga kurasa ?) tentang novel. Anti alur. Penuh renungan filsafat : Nouveau roman. Hasil karya Iwan yang tokoh-tokoh nya selalu luntang-lantung dengan gejolak filsafat. Novel yang mengutamakan sindiran-sindiran pada kejadian yang dianggap umum, yang juga menolak pembenaran umum. Yang tokohnya -atau Iwan menyebut dalam novel sbg : Tokoh Kita, dengan huruf capital- selalu dianggap aneh, dan karena ketidak-anehannya itu dianggap aneh !

Selalu ada denyaran baru walaupun sudah berulang novel Iwan ini dibaca. Tetapi beberapa novel masih luput kita baca. Koong, Kering, RT0/RW0 antaranya. Kurasa benar apa kau itu, sekali dua harus pula Pusat Dokumentasi HB. Jassin kita kunjungi. Muskyil rasanya tuan Hans (Iwan selalu memanggil sahabat nya ini dengan Hans), lupa memasukkan novel Iwan dalam katalog perpustakaan.

salam,
Mh

Sunday, January 04, 2004

From: MH
To: WH
Subject: nomore lonely night
Date: Fri, 2 Jan 2004 16:20:31 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

Jhon mengalun deras pada : Woman..

potongan kejadian yg luput diceritakan
masih tetap menjadi kejadian yang sudah selesai
menjadi kejadian yang akan tetap sedap dikenang-kenang.

Woman, aku ragu, rindu dan gagu ceritamu
: pagi tadi aku bangun dengan guling disamping, andai itu engkau.
ah, kau ngibul lagi. Katamu kau benci aku kemarin..

Woman, aku rindu,kangen dan sendu bayanganmu
:dalam bias cahaya redup lilin
silhuet mu tinggal didinding cafe
Hentakan sendokmu tertitnggal dimeja sebuah rumah makan.
dimana kamu..?

woman, u..u..uh, well.well.du..rudu..du.duu
aku rindu, sembilu dan ingin bernyanyi denganmu
sepotong lagu dari penyanyi kesukaan ku

Oh, woman, betapa aku berjanji untuk terus berjalan
dan tak pernah berharap kau untuk ikut dibelakang.
perjalanan yang abu-abu dan pernuh debu.
baiknya kau tunggu saja jika ragu
sampai aku datang membawa angin dan bunga berwarna ungu.

woman, please remember. my life is in your hand..

From: WH
To: MH
Subject: Bonne Anne
Date: Fri, 2 Jan 2004 14:16:05 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

Dear MH:

Bagaimana akhirnya Year End Sale? Sahabatmu ini akhirnya menghabiskan waktu pergantian tahun (yang sesungguhnya biasa saja, tapi selalu gurih untuk dijadikan alasan berpesta) di lapangan Durian. Entah ya, anak-anak muda disekitar rumahku itu sedang semanagt-semangatnya membangun kembali komunitas yang dipecahbelah corengmoreng oleh narkoba. Saya sih senang-senang saja melihatnya.

Dan lagi, acara itu tidak dijadikan alasan untuk hurahura horehore, tapi dijadikan ajang kumpul yang hangat dan cukup 'intelektual' (kalau boleh istilah itu saya gunakan). Rasanya aku ceritakan saja sedikit tentang acara itu:

Mereka (atas desakan dan nasihat dari pada tetua RT) menamai acara itu dengan "Butakah Hati Kami?" Nah, tentunya kau sudah tahu kemana arah acara itu sebenarnya. Ya, jelas itu jadi ajang semacam renungan buat komunitas kecil kami (ah, berani benar aku menyebut kami sedangkan aku sendiri jarang merasa terlibat).

Di acara itu mereka membacakan puisi, berpantomim dan menyanyi-nyanyi yang sahdu (kemesraan, syukur... ah, jelaslah kemana arahnya). Puisi yang dibacakan, kalau boleh berkomentar, yah cukup lumayan. Setidaknya aku kagumi keberanian anak2 muda itu untuk tampil di depan umum (dan maksudku benar-benar publik yang umum, bukan cuma penikmat puisi saja).

Ah, sayang pada kesempatan itu kawanmu ini tidak sempat berbaca-baca satu dua bait saja. meskipun sempat gatal juga, tapi kok rasanya terlalu tua sudah untuk ikut dalam acaranya anak-anak muda ini. Plus, aku waktu itu tidak membawa selarikpun sajak.

Tapi, aku sendiri kaget dan kau mungkin juga kaget, salah satu ketua RT (bapakku sendiri) membacakan puisi taufik ismail dengan diiringi dentingan gitar salah satu remaja itu (kebetulan dentingan gitar dipetik oleh anaknya Syu'bah Asa, kau ingat nama ini kan?). He he he, boleh juga penampilannya. Meski agak aneh juga membacakan sajak-sajak dari Tirani dan Benteng dalam suasana yang sebenarnya bukan perjuangan, tapi apalah arti? bukankah setiap hari kita harus selalu menjadi patriot dan menjunjung kemerdekaan? (atau tidak?).

Pada menjelang 00.00 kami berkumpul dalam kegelapan (lampu dimatikan sengaja) lalu merenung (nung nung nung). Kemudian hitung mundur dan api unggun menjulang diiringi riak petasan yang gagal terbang. Ah, kukira cukup berkesan juga Year End itu.

Oh ya, kau sempat beroleh salam dan tanya dari Eja. Masih belum lulus juga dia, ternyata Cbl bukan satu-satunya yang terpaksa terseret-seret di Fakultas Perikanan. :D

Oke. Kutunggu kisah 'Year End Sale' mu.

Salam,

-WH-

"Meski tidak bisa dibilang ilmiah, peringkat mesin cari Yahoo 2003 menunjukkan kecenderungan pengguna internet untuk 'menolak tunduk'."

From: MH
To: WH
Subject: Aida
Date: Mon, 29 Dec 2003 15:16:46 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

Dear MH:
Siang tadi secara (di)sengaja saya menghubungi seorang 'teman' lama, Sarah
Wardhani. Kau mungkin dengan mudah menebak siapa dia. Selalu saja
pembicaraan dengan SW membuat saya harus melakukan sesuatu, antaranya
menulis dan menyimpannya dalam album pribadi. Tapi kali ini, hendak pula
saya mengalamatkan pada kau mungkin sebabnya karena ini tiada bukan pribadi
mungkin karena beban sejarah terlalu berat lagi untuk ku tampung.

Pembicaraan tadi begitu membuat ku larut dan tak ingin bersegera menutup
pembicaraan. Mengalir saja. Cerita tentang dia mungkin tak akan pernah
tertutup bagiku. Tidak akan berpretensi untuk menjadi romantis, karena
pengharapan semacam itu akan begitu hina , dia pun tak akan mungkin
berekspektasi demikian. Karena seperti album, SW begitu mengahanyut
dinikmati perlahan-lahan sembari mengalirkan ceritera aduhai tentang sastra
dan filsafat (ternyata dia pelahap juga buku-buku filsafat).

Pembicaraan masuk kedaerah absurd. Dengan jenaka dia memasukkan
potongan-potongan teori analitis Farmasi (dia mhs. jur. farmasi) dan
menggabungkannya dengan filsafat dan sastra (jgn lupa, ibunya bekas ka.jur.
sastra jepang UI). dia juga masih menulis antaranya puisi.

Tiba-tiba SW bercerita kalau dia telah jatuh cinta kpd bintang. Kenapa?
"karena bintang: sepi, indah, serasa ada di kesunyian, dikejauhan terlihat
seperti melekat dimata, romantis.." dia bertanya aku jatuh cinta pada apa?
jawabku : hujan dan senja. kenapa? karena "dingin!"

Ketika pembicaraan hampir kututup, dia sedang berada dikawalan pohon-pohon
karet dijalur F-Mipa menuju arah sastra. Katanya "aku senang sekali melihat
daun-daun yang jatuh berguguran.."
Katanya :"Aku hampir setiap hari lewat jalan ini. Selalu saja ada kesejukan
baru yang tak pernah sama. Setiap perjalanan itu kunikmati karena sepi,
sunyi dan indah sekali melihat daun-daun yang jatuh sepanjang jalan..".

Aku ingat puisi kau 'daun-daun yang jatuh disepanjang jalan, yang menulis
ceritanya sendiri..'

Salam,
MH

From: WH
To: MH
Subject: Tidak Perlu atau Perlu Komunitas?
Date: Mon, 29 Dec 2003 16:32:50 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

Dear MH:

Wah. Membaca romantismemu terus terang aku harus iri. Sayangnya aku tidak bisa berbagi kisah berkecenderungan roman agaknya, karena ada pemikiran yang menggugat di kepalaku seperti duri dalam daging saja layaknya.

Sebelum aku lanjutkan, harus kubilang tersanjung juga aku ada kau kutip puisiku dalam suratmu itu. Jadi menghayal kalau puisi ku dikutip oleh pengkritik ternama di harian-harian berbudaya. Duuh.

Oh ya. Puisi-puisimu kusimpan dan pasti kan kudokumentasikan. Kukira beberapa saat lagi kita akan siap untuk antologi yang dirindu-rindukan itu.

....

Aku berpikir, atau tepatnya terganggu dengan pemikiran, tentang komunitas. Kau ingat kita pernah (dan masih rasanya) ikut terlibat dalam komunitas yang bercokol di Kota Bogor. Dan itu kurasa cukup positif juga dampaknya buat perkembangan jiwa-jiwa yang kering ini (kita?).

Namun, mengingat perkataan F. Rahardi (kalau tidak salah) beberapa waktu lalu. Apalah artinya komunitas dalam mentasnya seorang sastrawan (eh, ngomong-ngomong ada pretensi kah kita untuk jadi sastrawan?). Aku parafrase kan lagi ucapannya waktu itu, kebetulan dalam diskusi di TIM, 'Sastrawan-sastrawan besar tidak menjadi besar sebagai sebuah komunitas'.

Kira-kira begini:

Chairil Anwar, apakah komunitasnya? Bukankah ia mendirikan 'gelanggang' dan menjadi ruh 'angkatan 45' sesudah mentas?
Lalu Sapardi, Sutardji apalagi Iwan Simatupang sendiri.
Mereka yang berkomunitas, misalnya Goenawan Mohammad (UtanKayu), Danarto (RumahBambu?) atau Rendra (apa nama sanggarnya?)... juga sudah mentas sebelum membuat komunitas.

Komunitas lebih tepat untuk mereka yang bergerak di Teater. Sudah lazim kalau teater itu mentas sebagai komunitas. Apakah bisa kau bayangkan sebuah teater yang seorang diri???

...

Aku semakin tajam saja mengkritik komunitas ini setelah mendengar cuplikan berita dari Banten. Di sana, menurut berita itu, ada jatah bagi komunitas budaya berupa uang Rp. 6 juta per butir komunitas.

Kemudian masalah uang ini menjadi keributan di kalangan komunitas. Ada beberapa yang merasa sudah menjadi komunitas (ber)budaya tapi kok tidak mendapat uangnya. Terlepas dari siapa yang korupsi (atau hendak korupsi). Apakah memang ada dana yang tidak jadi terkucur tapi sebenarnya sudah ngucur, atau memang ada komunitas yang sekedarnya berbudaya demi dana yang mengucur? Itu tidak jadi soal.

Soalnya adalah, mengapa komunitas lalu berorientasi uang. Kemudian jika tanpa uang itu apakah komunitas lantas bukan lagi komunita? Apakah komunitas lantas berhenti hidup?

Ck ck ck. Perlu pulalah rasanya kau pahami ini: komunitas aku pikir jadikan saja sebuah wahana, macam warung kopi tempat sesekali kita berdiskusi, bergiat-giat dan bertarung. Tapi jika hendak mentas sebagai sastrawan (sekali lagi aku tanya ada pretensi kah kita untuk jadi sastrawan?) baiknya seorang diri saja lah. Nanti kalau sudah mentas, baru angkat itu yang namanya komunitas.

Mad Ridwan, dosen yang mengajar Manajemen Media Massa di kampus kuning apak, sempat mengkritik gaya wartawan yang disebutnya 'jurnalisme gerombolan' atau 'jurnalisme keroyokan' yaitu ketika para pekerja pers kita itu (termasuk aku kukira) menjejali mikropon pada nara sumber yang diincar.

Aku rasanya ingin mengadopsi gayanya itu: apakah sastrawan muda harus menjadi 'sastra keroyokan' yang baru berani menggila kalau beramai-ramai dalam gerombolan. Kukira perlu juga seorang sastrawan berdiri tak tunduk sendiri saja, melantangkan dirinya. Begitu.

Sampai disini aku sempat tergoda juga oleh sebuah pemikiran iseng. bagaimana kalau aku, yah kawanmu ini yang konon kabarnya seorang pemalu yang introvert, meneriakkan lantang-lantang puisinya di tempat umum. Tanpa pretensi komunitas, tanpa pretensi acara apapun, hanya sekedar meneriakkan (bak orang gila pula rasanya) bait-bait apak di muka umum. Entah, mungkin di kantin kampus, perempatan jalan atau pusat hedonisme (perbelanjaan).

Apa kau bilang tentang ceracauku ini?

-WH-

(Sebenarnya, apa yang dikatakan penguasa kepada rakyat adalah "bunuh dirimu sehingga aku bisa jadi kaya".)
  • AsalUsulTemplate
  • This page is powered by Blogger. Isn't yours?