<$BlogRSDURL$>

Sunday, February 29, 2004

From: MH
To: WH
Subject: RE: Sekarat! atas nama inspirasi
Date: Tue, 24 Feb 2004 18:29:35 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

Sahabat WH:

Konon kabarnya, bagi kita penulis apak ini, kuliah dan sekolah adalah ladang
inspirasi yg tak pernah habis. Kau, aku, menceburkan diri ke kancah tanpa
debu bernama : kampus, ku yakin menyertakan juga alasan untuk berburu
inspirasi, sejarah, manusia baru, identitas , jejak kenangan baru.

Karenanya, aku berangkat saat ini menuju kampus, untuk berburu hal yang satu
itu. Tentu tanpa merasa lelah, digurui atau apalah. kampus menjelma menjadi
agenda raksasa yang setiap hari ditulisi tanpa lelah. Selalu baru. Selalu
asyik untuk dijaring..

Ta'zim,
-MH_
From: WH
To: MH
Subject: Sekarat! atas nama inspirasi
Date: Tue, 24 Feb 2004 17:40:23 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

MH sahabatku:

inspirasi kabarnya bisa datang dari mana saja. bahkan karya-karya besar bisa datang dari inspirasi yang sederhana. konon kabarnya, kalau tidak salah ingat, Fyodor Dostoyevski sastrawan legendaris dari Rusia, juga beroleh inspirasi dari berita-berita di koran.

Namun, aku ras tidak pantas lah membicarakan karya-karya besar. (Siapa sih saya?) Maka, mari membicarakan inspirasi. Mencarinya dan menemukannya.

Apakah perlu, atas nama mencari inspirasi, seorang penulis berlapar-lapar? Mungkin saja. Tergantung seberapa besar penulis itu menginginkan inspirasi. Meski, kuduga, penulis yang kehilangan inspirasi lalu kehilangan kemampuan menulis bisa juga terlapar-lapar tanpa keinginannya. (ini namanya resiko pekerjaan bung! Occupational hazard, kalau kata orang-orang berbahasa inggris).

Lalu, darimana datangnya inspirasi buat kita-kita ini (yang berpretensi jadi penulis). Aku rasa, inspirasi paling mudah didapatkan dari kehidupan sehari-hari dan kisah-kisah di masa lalu. Comot sedikit dari apa yang sudah dilewati, tambahkan imajinasi, lalu *crot* jadi!

Sayangnya, itu bukan rumus matematika yang bisa langsung diaplikasikan pada angka. Yang namanya otak manusia itu pasti akan menghadapi tumbukan-tumbukan yang (bisa jadi) akan mematikan inspirasi yang sudah masuk.

Lalu bagaimana caranya? Loh, tentunya tidak ada yang namanya instant solution. Mungkin satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah menenangkan pikiran. melancong, jalan-jalan, sholat di sebuah mesjid yang aneh (misalnya sengaja menyesatkan diri di sebuah area lalu menemukan tempat sholat) dan lain sebagainya. itu semua bisa jadi sarana menenangkan kepala, lalu ketika isi otak agak tenang inspirasi akan mudah dicerna.

Siapa sih aku yang menggurui begitu nadanya? He he he he. tentunya tidak bermaksud menggurui, hanya sekedar ingin memancing inspirasi.

Salam,

WH

Saturday, February 21, 2004

From: MH
To: WH
Subject: RE: Penghargaan
Date: Wed, 18 Feb 2004 15:52:21 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

WH:

Penghargaan. Ehm, sebentar.. Jika yang dimaksud penghargaan adalah sesuatu yang di-seremoni-kan dan dalam sebuah acara dan diberikan oleh kerana karya mereka yang menggugah dan/atau dilombakan dalam tema tertentu, ku pikir layak itu sastrawan di ganjar oleh sebuah penghargaan (sertifikat) atau dalam nilai nominal (uang). Bukankah perjuangan sastrawan dalam mencipta adalah buah dari pergolakan pemikiran yang mengorbankan : waktu, tenaga, keringat, tubuh, jiwa.. Pengorbanan itu sendiri boleh kuartikan sebagai wujud 'kerja keras' mereka. Siapa yang menduga jika dalam kerja seperti itu mereka keluar banyak sekali uang dan tenaga. Dalam riset misalnya.

Kau pernah bilang bahwa kandungan nilai sastra makin bernilai jika mereka mengolahnya dengan tidak serampangan (contoh: Novel). Betapa fatal jika kemudian tanpa riset sebuah karya diluncurkan dan menuai banyak kecaman karena tidak sinkron dengan keadaan faktual atau alur sejarah yang benar?

Lebih jauh aku melihat secara general kehidupan penggiat sastra memang belum begitu sejahtera- jika tidak ingin dikatakan jauh dari kenyamanan materi-. Beberapa sastrawan malah harus bertarung dengan kerasnya hidup belantara Jakarta untuk mampu menghidupi keluarga sembari menjadi penggiat sastra.

Karenanya dengan cara pemberian penghargaan (pun dengan nomiinal materi) kupikir ada baiknya agar sastrawan tidak melulu kekurangan bahkan berada dalam level marginal! Tidak di beri penghargaan penting pun sebenarnya sastrawan ku yakin sudah cukup bangga karena misi mereka bergiat berhimpun dalam perjuangan moralitas, kejujuran, kebenaran dan perjuangan murni keadilan manusia di pakai dan ditanggap orang-orang. Pencerahan buat masa depan.

Singkatnya, jika jelas sumber dana untuk hadiah bagi sastrawan, pun halal, aku setuju. Bersyukurlah sekarang banyak muncul pengarang2 muda yang bertampang menjual. Bahkan Jenar Maesa kulihat sudah ikut-ikutan jadi presenter acara gossip di salah satu stasiun tv. Bisa saja dual posisi: siang artris, malam sastrawan. Kenapa tidak?

salam,
-MH-
From: WH
To: MH
Subject: Penghargaan
Date: Wed, 18 Feb 2004 13:37:49 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

Rekan MH,

Aku iseng saja hendak melontarkan bahan diskusi. Siapa tahu bisa jadi obrolan menarik!

Menurut kau, seberapa pentingkah sebuah penghargaan bagi pengecimpung (btw, istilah pengecimpung ini secara bahasa kayaknya tidak bisa dibenarkan ya?) bidang seni. Ambil contoh Sastra, misalnya.

Seberapa penting dan sejauh mana seorang penulis perlu diberi penghargaan?

Aku ingin mengutip pendapat Natalie Portman (aktris muda yang jelita), menurutnya aktris tidak perlu diberi penghargaan karena pekerjaannya itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang berharga! Apakah hal sama bisa berlaku dalam sastra?

Di sisi lain kusadari betul bahwa sastrawan butuh juga hadiah materi yang biasa menyertai sebuah penghargaan. Sebutlah Rp 50 juta untuk seorang sastrawan yang merana hidupnya. Bukankah itu akan sangat membantu?

Ah, entahlah.

Apa pendapatmu?

Salam,

WH

nb. penghargaan yang aku maksud disini adalah jenis yang dicirikan oleh adanya seremoni, piala atau sertifikat. bukan penghargaan dalam bentuk pujian atau kritik, kalau yang terakhir ini (puji+kritik) aku pikir masih sangat diperlukan!

Tuesday, February 17, 2004

From: MH
To: WH
Subject: RE: A Little Latin in The Mornin
Date: Thu, 12 Feb 2004 11:07:32 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

WH:

Kau tahu kenapa bahasa latin digunakan dalam penamaan ilmiah semua Filum hewan dan tumbuhan - masuk juga manusia-?

Karena bahasa Latin abadi. Tak kenal perubahan dan memang tak akan berubah sampai kapanpun...

Ah, kenapa hal yg ilmiah masih juga berpretensi abadi? kayak kenangan aja...:)

-MH-

".. Kau harus ubah cara pandang D-3 mu itu..!"
Prof. Limbong, Phd. Dept. Sosek Faperta.

(Latin yang dikutip WH: "Nec audiendi qui solent dicere, Vox populi, vox Dei, quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit.")
From: MH
To: WH
Subject: RE: Explorer the nuance
Date: Tue, 10 Feb 2004 11:25:47 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

Karib ku wh,

Segera, jika musim yang bagus mulai muncul, ku kepak ransel dan kita hirup udara Bandung. Ku prakirakan, sekitar akhir Pebuari itu agak mewujud. Menurut mu?

Bandung. Bandung. Ah.. Benar kawan, benar2 tak sabar juga ingin mendokumentasikan Bandung lewat lensa kamera apak ku. Jika pun sampai keinginan mu menjadi penulis apak di Priyangan, janji kau, taruh foto apak hitam putih kita di Bandung nanti dalam memoar ala Hemingway itu!

"imajinasi liar di kota tua, rasakan. Mungkin kau beruntung merasakan menjadi penghuninya yang tak kasat mata "

..........

Jika ku harus menunggu rencana bakar ikan itu, baik akan ku tunggu. Karena menunggu adalah perbuatan jemu, ada baiknya kusiapkan bila masa itu benar-benar tiba. Tahun depan kawan..? :)


-MH-
"...karena duka mu, adalah duka lama isi keju"
From: WH
To: MH
Subject: Re: Explorer the nuance
Date: Tue, 10 Feb 2004 10:56:05 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

Sahabatku MH,

Jika cuaca bagus kita harus ke Bandung!

Seandainya aku punya umur, aku janji akan menikmati satu periode waktu jadi penulis di Bandung. Entah untuk berapa lama, setahun dua tahun, lalu akan kutuliskan memoar tentang kota itu layaknya Hemmingway menulis tentang Paris dalam A Moveable Feast-nya. Karena, toh, Bandung adalah Paris-nya Jawa??

"Kalau kau pernah tinggal di Bandung sebagai seorang anak muda, kau adalah orang yang sangat beruntung, karena Bandung adalah arak-arakan perayaan yang tak kunjung usai!" -kutipan kalimatku sendiri dari memoar yang masih imajinasi itu, disadur dari kutipan Hemmingway tentang Paris!

NB. Rencana Ciapus membakar ikan harus menunggu, ditunda sampai waktu yang sulit untuk ditentukan.. kira-kira kita akan kesana, menjelang pernikahanku! (yang masih entah kapan...)

Salam,


-WH-

"Sad, sad, sad."
From: MH
To: WH
Subject: Freedom 2
Date: Fri, 6 Feb 2004 14:22:45 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

WH:

Maaf baru kusambangi lagi email mu setelah yang kemarin itu (lagi-lagi 'kesalahan teknis', server mengirim email mu ke PC teman ku).

Karib ku, respon balik dari mu kemarin tentang gundah ku karena kebebasan sudah kau jawab. Cukup baik. Ku katakan begitu sebab kau mampu menjawab pertanyaan ku tentang seberapa besar euforia kebebasan itu nyangkut juga dalam bising lalu lintas perjalanan mu menulis, interaksi dan bergumul dengan sastra. Sekian tahun bersahabat kita sudah banyak tahu tentang masing-masing habit. Tapi tentang pandangan hidup, kiblat pemikiran, tentu masing pribadi punya hak menentukan keyakinan. Keyakinan tidak mensyaratkan pertanyaan. Jika masih ada tanya, bukan keyakinan. Betul? Karena nya ku umpan pertanyaan kemarin itu tentang euforia kebebasan, cuma ingin memastikan bahwa kau punya keyakinan yang sama dengan ku tentang bagaimana memandang kebebasan yang seharusnya. Terima kasih.

..................

Pernikahan Widi? 11 pebuari? Hah, masuk dijalur cepat dia rupanya! Baik, ku usahakan mencegat jadwal dihari minggu. Kita sambangi ramai-ramai. SaljuBogor perlu juga merespon undangan itu. Widi masih respek dengan persahabatan kita. Baiknya kita respek balik dengan silaturahim.

................

Bagaimana 'perjalanan duka' mu? masih panjang dan berliku kulihat. Semoga kau makin kuat dan menemu segumpal cahaya keluar dari lubang nan gelap itu. Ku doakan selalu, no question about it.

Salam ta'zim:
-MH-

ps:
Tlah kau dapat mobile number ku yg baru? 0815 XXXX XXXX
From: WH
To: MH
Subject: Freedom
Date: Thu, 5 Feb 2004 14:48:47 +0700
X-Mailer: Sylpheed version 0.8.9 (GTK+ 1.2.10; i386-redhat-linux-gnu)

Kawan MH,

Konon manusia memang bodoh, sudah memiliki kebebasan untuk berpikir masih menginginkan kebebasan fisik!

Memang kurasa ada semacam patron untuk mengikuti pola pikir kebebasbebasan yang berasal dari budaya manapun. Mereka, bisa jadi, hanya menginginkan simbolis sebuah perlawanan. Dengan menuliskan sesuatu yang diluar kelaziman dan 'kontroversial' mereka meraih simbol-simbol tersebut.

Tidak bisa disalahkan, kok. Menurutku sah-sah saja jika mereka menginginkan itu. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah: perlawanan terhadap apa!?

Selama ini sastra memperoleh posisi yang prestisius karena secara moral gerakan sastra selalu berusaha: menunjukkan kebenaran ideal, menjunjung nilai kemerdekaan (bukan kebebasan) dan hak berbicara dan berpendapat secara mandiri!

Ketika sastra kemudian dirasuki oleh kebebasan seksual dan kelamin. Kebebasan untuk menampilkan hubungan badan secara vulgar, terang-terangan dan hanya minim mengambil nilai-nilai dibalik nilai kenikmatan fisik! Ketika itu, sastra keluar dari posisinya yang ideal.

Dalam pendapatku, sebuah sastra harus menyentuh jiwa yang dalam. Kalau hanya bermain-main di permukaan, seks dan permainan kelamin, percuma saja.

Mengapa penguasa takut pada puisi? Karena puisi menyentuh jiwa yang dalam, kemudian bisa membangkitkan deviasi. Sedangkan penguasa selalu menginginkan konformitas (antara lain dicirikan oleh:keseragaman dan keteraturan), bukan keberandalan dan pemberontakan (yang mencirikan deviasi).

Kembali ke pertanyaan tadi: perlawanan terhadap apa?

Jika mereka melawan dominasi kaum laki-laki, budaya patriarkis dan lain sebagainya. Apakah menampilkan seks yang vulgar bisa melakukan itu? Apakah terus menerus bicara kelamin bisa menampakkan perlawanan itu?

...

Rekanku, lebih jauh kau rupanya mulai melihat juga blok-blok dalam komunitas. Kotak-kotak yang perlu dilawan!

Kau ingat bagaimana, ternyata, dalam usaha melawan vulgaritas itu ada sekelompok yang berusaha menonjolkan religi. Tapi, kadang-kadang religiusitas itu dieksploitasi sebegitu rupa (sama halnya dengan kelamin itu dieksploitasi oleh pihak yang lain).

Kau ingat kan? Bagaimana sebuah novel 'religi' ternyata memuat kesalahan fatal yang berkaitan dengan riset!

Aku merasa komunitas-komunitas itu cenderung tergesa-gesa dalam berdiri. Mereka seakan-akan membuat kotak dengan saringan dan menganggap komunitas layaknya wahana 'ras superior' ala NAZI: semua yang tidak bisa masuk (berdasarkan kriteria tertentu) adalah ras inferior, dan oleh karena itu tidak layak hidup!

Ck ck ck ck

Padahal kupikir komunitas itu adalah sekedar wahana belajar, dan seorang boleh lompat sana-sini dari satu komunitas ke komunitas lain.

note: ini satu alasan kenapa aku suka bercokol di BungaMatahari@yahoogroups.com, cair dan rasanya tidak ada resistensi sama sekali terhadap siapa yang mau masuk komunitas ini (juga yang mau keluar).

...

Rekan, apakah ceracauku ini membingungkan? Mungkin ini karena aku sedang dalam keadaan payah. Agaknya ada demam merayap dari dalam tubuhku, dadaku sakit dan penglihatanku memburam. Radang!?

Oh. Aku lupa, satu berita penting yang seharusnya aku sampaikan sejak lampau:

Widi, kawan kita di Salju Bogor akan menikah! Tepatnya, Rabu 11/02/04! Undangan di Diyah. Dan Mba'Di juga mengajak kita kesana hari MInggu tanggal 15 sesudahnya. Soalnya, rasanya, tanggal 11 itu tidak akan ada yang bisa datang!

Salam,


Wicak Hidayat

-Hujan!-
From: MH
To: WH
Subject: euforia
Date: Thu, 5 Feb 2004 14:00:47 +0700
X-Mailer: Internet Mail Service (5.5.2653.19)

dear wh:

yang selalu kujadikan alasan untuk bermenung-menung adalah: apakah kebebasan yang jadi trade mark kaum-kaum anti-primordialis itulah rujukan buat penulis-penulis muda (sastrawan muda?) sekarang ini? Ayu utami, Diah ayu p dll. Penyair dan sastrawan tempo dulu hingga angkatan pujangga baru kurasa, mereka menyuarakan bahasa dan menulis tulisan yang bebas juga. Bebas dalam atri tidak terikat dan tidak mau di embel-embeli plat penguasa/pemerintah, akibatnya mereka bicara moralitas, kejujuran, perjuangan dan idealis yang bisa dipertangung jawab kan buat masa depan. Aku tidak sedang menjustifikasi, cuma benar-benar ingin beroleh jawab, kok ya tulisan yang
diangkat penulis sekarang ini melulu kecenderungan hal yang berbau 'kasur', esek-esek. Dus, pola pikir yang mereka tuangkan dalam bentuk tulisan itu, yang kalau dibaca kok seperti perjuangan yang ikut arus: kebebasan yang bablas! Feminisme ala barat, persamaan gender.!

Beberapa komunitas juga bertingkah polah demikian. Bablas. Apakah ketakutan jika dianggap diluar barisan? Dianggap tidak ikut metodik sastra mutakhir abad 21? Mengapa pula ada kecendurangan sastra religius pada satu dua komunitas. Apakah demi menangkal/ menunjukan eksistensi bahwa masih ada yang tidak terjebak dalam euforia kebebasan?

Aku setuju bahwa pikiran tidak bisa dibungkam. Tulisan zander tuangan pemikiran pastilah omong-kosong belaka. Tapi pertangungjawaban kepada moralitas, kejujuran diatas asas 'akal sehat' bukankah juga harus dipertaruhkan?

Salam,
-MH-

ps:
Respon balik..
  • AsalUsulTemplate
  • This page is powered by Blogger. Isn't yours?